Pages

Minggu, 05 Mei 2013

Seluk beluk Kedokteran Nuklir


Kedokteran Nuklir adalah cabang ilmu kedokteran yang menggunakan sumber radiasi terbuka dari disintegrasi inti radionuklida buatan (radiofarmaka) untuk tujuan diagnostik, terapi (kuratif: untuk kanker tiroid, nodul tiroid, hipertioid (dengan NaI-131), haemangioma rubra, rekuren pleuritis (dengan P-32), osteoartritis (dengan Re-186) kanker hati (dengan Y-90), paliatif (dengan Sr-89, P-32, Sm-153) berdasarkan perubahan fisiologi, anatomi, biokimia, metabolisme dan molekuler dari suatu organ atau sistem dalam tubuh. Pada kedokteran nuklir, penunjang diagnostik di dibagiatas in-vivo (non- iamging dan imaging) dan in-vitro menggunakan radioisotop tertentu sebagai perunut (tracer). Untuk penunjang diagnostik in- vivo radioisotop dimasukan kedalam tubuh dapat melalui suntikan, peroral maupun inhalasi, dan farmaka (bahan obat non radiasi) yang digunakan untuk target organ tertentu harus dicampurkan dengan radiosiotop. Sedangkan penunjang diagnostik in-vitro juga menggunakan radioisotop (sebagai antigen) yang dicampurkan dengan sampel darah atau urin pasien (antibodi) di laboratorium dengan prinsip dasar reaksi antigen dan antibodi. Dosis radiasi yang diterima oleh pasien setelah pemberian radiofarmaka ditentukan oleh sifat fisik dan biologik (metabolisme) dari radionuklida, dalam tubuh pasien, serta jumlah aktivitas yang diberikan. Besar radioaktivitas yang terdapat dalam tubuh pasien akan mengikuti sistem aliran pembuluh darah (biodistribusi) yang berakhir pada kandung kemih. Kalau berbicara mengenai radisi sumber terbuka dengan energi keV kita juga berbicara mengenai waktu paro (T1/2 atau half life) dari radionuklida yang diberikan ,pada umumnya yang banyak digunakan adalh Tc-99m, juga dapat menggunakan Tl-201, In-111, Ga-67, I-131 dan lain sebagainya bergantung dari jenis pemeriksaan yang akan dilakukan.
Pemeriksaan kedokteran nuklir banyak membantu dalam menunjang diagnostik berbagai penyakit dari sisi fisiologik, patofisiologik, metabolik maupun tingkat selluler seperti kelainanpada otak, jantung, paru, kelenjar liur, tiroid, paratiroid, saluran air mata, hati dan limpa, hepatobilier, traktus gastrointestinal, lokasi perdarahan, traktus urinarius, payudara, testis, kelenjar limfe, tulang, sumsum tulang dan kasus kanker, infeksi spesifik (TBC) dan aspesifik, inflamasi, fraktur dan lain sebagainya. Sesuai dengan perkembangan fasilitas perangkat kerasnya mulai dari non imaging untuk penilaian fungsi ginjal (renograf), tiroid (tiroid uptake), helicobacter pyloric (heli probe), sampai yang imaging menggunakan kamera gamma tunggal, dual dan triple head baik palnnar maupun SPECT/ SPET (Single Photon Emission Tomography) yang pada saat ini sudah dikombinasikan dengan CT scan maupun NMRI yang sedang dikembangkan, fasilitas lain yang menjadi trend saat ini adalah PET (positron emission tomography) untuk menilai fungsi organ dalam skalametabolik maupn selluler secara monoklonal antibodi, perangkat keras ini juga telah dimodifikasi dalam bentuk PET+ CT + NMRI atau SPECT+ CT+ PET.
Prinsip dasar perangkat keras di kedokteran nuklir adalah pencacahan (count) berdasarkan jumlah aktivitas nuklida (radiasi sumber terbuka) yang digunakan dan waktu (lama pemeriksaan). Perangkat keras sendiri tidak menghasilkan suatu bentuk radiasi, melainkan menangkap (uptake) radiasi dari tubuh pasien yang telah diberikan radioisotop (in-vivo) atau pada sampel darah/ urine yang dicacah (in-vitro). Hasil citra yang diperoleh berdasarkan jumlah akumulasi/ terkumpulnya radiofarmaka pada organ tertentu dengan melihat pada skala warna atau skala hitam putih. Data disimpan dalam komputer (dapat di olah kembali), film, kertas printer maupun CD/ DVD.

sumber : http://www.infonuklir.com/read/detail/116/kedokteran-nuklir#.UYZElkoavIg

0 komentar:

Posting Komentar