![](http://www.infonuklir.com/foto_berita/1100_1286.jpg)
Kedokteran Nuklir adalah cabang ilmu kedokteran yang menggunakan
sumber radiasi terbuka dari disintegrasi inti radionuklida buatan
(radiofarmaka) untuk tujuan diagnostik, terapi (kuratif: untuk kanker
tiroid, nodul tiroid, hipertioid (dengan NaI-131), haemangioma rubra,
rekuren pleuritis (dengan P-32), osteoartritis (dengan Re-186) kanker
hati (dengan Y-90), paliatif (dengan Sr-89, P-32, Sm-153) berdasarkan
perubahan fisiologi, anatomi, biokimia, metabolisme dan molekuler dari
suatu organ atau sistem dalam tubuh. Pada kedokteran nuklir, penunjang
diagnostik di dibagiatas in-vivo (non- iamging dan imaging) dan in-vitro
menggunakan radioisotop tertentu sebagai perunut (tracer). Untuk
penunjang diagnostik in- vivo radioisotop dimasukan kedalam tubuh dapat
melalui suntikan, peroral maupun inhalasi, dan farmaka (bahan obat non
radiasi) yang digunakan untuk target organ tertentu harus dicampurkan
dengan radiosiotop. Sedangkan penunjang diagnostik in-vitro juga
menggunakan radioisotop (sebagai antigen) yang dicampurkan dengan sampel
darah atau urin pasien (antibodi) di laboratorium dengan prinsip dasar
reaksi antigen dan antibodi. Dosis radiasi yang diterima oleh pasien
setelah pemberian radiofarmaka ditentukan oleh sifat fisik dan biologik
(metabolisme) dari radionuklida, dalam tubuh pasien, serta jumlah
aktivitas yang diberikan. Besar radioaktivitas yang terdapat dalam tubuh
pasien akan mengikuti sistem aliran pembuluh darah (biodistribusi) yang
berakhir pada kandung kemih. Kalau berbicara mengenai radisi sumber
terbuka dengan energi keV kita juga berbicara mengenai waktu paro (T1/2
atau half life) dari radionuklida yang diberikan ,pada umumnya yang
banyak digunakan adalh Tc-99m, juga dapat menggunakan Tl-201, In-111,
Ga-67, I-131 dan lain sebagainya bergantung dari jenis pemeriksaan yang
akan dilakukan.
Pemeriksaan kedokteran nuklir banyak membantu
dalam menunjang diagnostik berbagai penyakit dari sisi fisiologik,
patofisiologik, metabolik maupun tingkat selluler seperti kelainanpada
otak, jantung, paru, kelenjar liur, tiroid, paratiroid, saluran air
mata, hati dan limpa, hepatobilier, traktus gastrointestinal, lokasi
perdarahan, traktus urinarius, payudara, testis, kelenjar limfe, tulang,
sumsum tulang dan kasus kanker, infeksi spesifik (TBC) dan aspesifik,
inflamasi, fraktur dan lain sebagainya. Sesuai dengan perkembangan
fasilitas perangkat kerasnya mulai dari non imaging untuk penilaian
fungsi ginjal (renograf), tiroid (tiroid uptake), helicobacter pyloric
(heli probe), sampai yang imaging menggunakan kamera gamma tunggal, dual
dan triple head baik palnnar maupun SPECT/ SPET (Single Photon Emission
Tomography) yang pada saat ini sudah dikombinasikan dengan CT scan
maupun NMRI yang sedang dikembangkan, fasilitas lain yang menjadi trend
saat ini adalah PET (positron emission tomography) untuk menilai fungsi
organ dalam skalametabolik maupn selluler secara monoklonal antibodi,
perangkat keras ini juga telah dimodifikasi dalam bentuk PET+ CT + NMRI
atau SPECT+ CT+ PET.
Prinsip dasar perangkat keras di kedokteran
nuklir adalah pencacahan (count) berdasarkan jumlah aktivitas nuklida
(radiasi sumber terbuka) yang digunakan dan waktu (lama pemeriksaan).
Perangkat keras sendiri tidak menghasilkan suatu bentuk radiasi,
melainkan menangkap (uptake) radiasi dari tubuh pasien yang telah
diberikan radioisotop (in-vivo) atau pada sampel darah/ urine yang
dicacah (in-vitro). Hasil citra yang diperoleh berdasarkan jumlah
akumulasi/ terkumpulnya radiofarmaka pada organ tertentu dengan melihat
pada skala warna atau skala hitam putih. Data disimpan dalam komputer
(dapat di olah kembali), film, kertas printer maupun CD/ DVD.
sumber : http://www.infonuklir.com/read/detail/116/kedokteran-nuklir#.UYZElkoavIg
0 komentar:
Posting Komentar